Rabu, 07 Oktober 2009

Membangun Ruh Gerakan

S
uatu ketika KH. Muhammad Syoedja’ diberi tugas untuk melayani dan memimpin jama’ah haji ke Makkah. Sebelum KH. Muhammad Syoedja’ berangkat, terlebih dahulu KHA. Dahlan menyampaikan wasiat yang ditujukan kepada keponakannya yaitu KH. Baqir. Pesan beliau yang dikutipkan dari buku ”Catatan KH. Muhammad Syoedja’ adalah sebagai berikut :
1. Baqir disuruh pulang ke Jawa, ada apa dia ada di Makkah. Makkah sudah banyak ulama yang sama mengajar, bahkan Makkah sumber ulama dari segala bangsa yang mengajar, baik di Masjidil Haram, di rumah-rumah dan di Rubat-rubat dan sumber murid-murid dari segala bangsa yang sama belajar.
2. Makah satu negeri yang mulia yang diliputi tanah Haram, Tanah Suci, yang tidak masuk seorang di luar Islam di dalamnya, sehingga penduduk Makkah seluruhnya kaum Muslimin dan Muslimat yang tidak akan membutuhkan pelajaran agama Islam daripada Baqir.
3. Baqir mesti pulang, Baqir mesti pulang, Baqir mesti pulang ke tanah Jawa. Kaum Muslimin di tanah Jawa baik Muslimin maupun Muslimatnya dari segala lapisan karena dengan lancarnya para Mubaligh maupun para Mubalighat, maka sama sadarlah mereka itu dan berduyun-duyun sama mengunjungi pengajian-pengajian di tiap-tiap waktu dan tempat yang telah ditentukan. Tetapi sayang sekali bagi mereka golongan cerdik pandai yang tidak berkinjung di tempat tersebut karena tidak bersesuaian dengan hari liburnya. Oleh karena itu besar harapanku Baqir harus pulang ke Jawa. Walaupun dengan cara yang bagaimana.
Demikianlah amanat KHA. Dahlan kepada keponakannya yang berada di Makkah. Beliau berharap ada yang menggantikan beliau untuk mengemban dakwah dan menjalankan roda organisasi Muhammadiyah. Tetapi apa yang terjadi,?.... ternyata semua itu tidak sesuai dengan yang KHA. Dahlan impikan. KH. Baqir dengan berbagai macam alasan menolak keinginan pamannya yang sudah mulai sakit-sakitan. Yang membutuhkan pengganti beliau dalam mencerdaskan umat. Yang semestinya diketahui oleh orang yang berilmu, apalagi dia telah bersekolah tinggi. KH. Baqir memiliki alasan kalau dia nanti pulang ke Jawa mau kerja apa, kalau nanti dia pulang ke Jawa mau bertempat tinggal dimana, kalau nanti pulang ke Jawa dan seterusnya hanya untuk menyatakan bahwa dia tidak berkenan pulang ke Jawa.
Begitu bedanya KH. Baqir dengan murid KHA. Dahlan yang setiap waktu bersama beliau. Menimba ilmu kepada beliau, mendengarkan dan melihat cara hidup beliau secara langsung. Tidak ada yang mereka dapati dari cara hidup beliau melainkan cara hidup yang lahir dari hati yang ikhlas mencari ridlo Allah SWT. Mewakafkan hidupnya untuk Islam dan Muslimin tanpa rasa lelah.
Kepribadian dan kecerdasan spiritual KHA. Dahlan itulah yang kemudian ditiru oleh para muridnya diantaranya KH. Muhammad Syoedja’, Haji Fakhrudin, Ki Bagus Hadi Kusuma, Haji Mohamad Zain, Haji Mohamad Mokhtar, KHA. Badawi, KHR. Hajid dan lain sebagainya. KH. Muhammad Syoedja’ adalah murid dan kader langsung KHA. Dahlan. Jika KHA. Dahlan adalah peletak dasar aktifitas Amal Usaha sosial Muhammadiyah maka KH. Muhammad Syoedja’ adalah perumus sekaligus penafsirnya dalam realitas gerakan. Beliau adalah Ketua Bahagian Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO) yang pertama, salah satu perintis Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, pendiri rumah miskin, rumah anak yatim, dan pelopor Persatuan Djama’ah Hadji Indonesia (PDHI). Begitupun murid-murid KHA. Dahlan yang lainnya, mereka menjadi orang-orang yang tangguh dalam memperjuangkan agama Islam. Mereka menjadi orang-orang yang cerdas dalam berorganisasi dan juga dalam menguasai ruh Muhammadiyah.
Jika kita merujuk kepada para tokoh tersebut di atas maka mereka adalah contoh bentuk ideal dari kader Muhammadiyah. Adalah mereka yang memiliki ruh Islam yang kuat, memiliki kapasitas sebagai seorang organisatoris ulung. Yaitu mereka yang mempunyai akidah lurus, taat beribadah, memiliki pengetahuan yang dalam tentang Islam, dan menghayati visi dan misi Muhammadiyah serta menggerakkan Muhammadiyah dengan senang hati. Akidah yang kuat tergambar oleh jawaban KH. Muhammad Syoedja’ ketika diinterogasi oleh seorang tokoh di Makkah yang sedang menyelidiki Muhammadiyah. Tokoh tersebut adalah KH. Abdul Muhid. Beliau bertanya pendapat Muhammadiyah tentang orang yang berziarah kubur. Beliau KH. Muhammad Syoedja’ menjawab : ”Muhammadiyah tidak menganjurkan kepada kaum Muslimin pada umumnya dan anggota Muhammadiyah pada khususnya supaya sama berziarah kubur walaupun ke kuburan keluarganya sendiri, malahan merintangi ziarah kuburnya orang sholeh. Karena akibatnya ziarah-ziarah itu lantas sama mengajukan permohonan kepada yang ada di dalam kubur, doa restu bahagia, senang, ayem, tentrem dan tenang. Bahkan kaum muslimin golongan santri tidak hanya demikian saja, melainkan ditambah dengan bacaan tahlil yang dzikirnya sampai beribu-ribu kali di muka kubur, sehingga merasa puas yang dimaksud dan dituju”. Kemudian KH. Muhammad Syoedja’ mengutip hadits Nabi SAW : Janganlah jadikan rumahmu sebagai kuburan dan janganlah kamu jadikan kuburku sebagai tempat perayaan. Bersholawatlah kamu sekalian atasku. Sesungguhnya sholawatmu akan sampai kepadaku dimanapun kamu berada. (HR. Abu Dawud dengan sanad Hasan). Dari jawaban itulah kemudian Muhammadiyah dicap sebagai Wahabi..
Terlepas dari tuduhan tersebut yang jelas Rosululloh SAW melarang keras seseorang mengagung-agungkan kuburan. Karena hal itulah yang telah banyak menyesatkan akidah orang-orang pada jaman dahulu. Sehingga Muhammadiyah memiliki gerakan yang terkenal dengan istilah memberantas Syirik dan TBC (Tahayul Bid’ah Churafat). Gerakan yang demikian itu sudah selayaknya untuk dipertahankan oleh orang-orang yang mengaku para penerus perjuangan Muhammadiyah. Karena perbuatan itu akan selalu ada kapanpun dan dimanapun. Termasuk dalam era yang canggih seperti sekarang ini dan era yang lebih canggih lagi kelak.
Untuk melahirkan seorang organisatoris yang handal, Muhammadiyah telah menyiapkannya sejak dini pengkaderannya secara sistematis. Yaitu dengan didirikannya Organisasi Otonom (ORTOM) sebagai wadah bagi mereka para calon penerus pimpinan Muhammadiyah. Muhammadiyah adalah organisasi yang sangat ideal dalam sistem pengkaderannya karena memiliki jenjang pengkaderan seperti IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) untuk para pelajar, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) untuk para mahasiswa, Pemuda Muhammadiyah untuk para pemuda, NA (Nasyiatul ’Aisyiyah) untuk para pemudi, Kepanduan Hizbul Wathan (HW) untuk orang-orang yang suka dengan petualangan, dan Tapak Suci Putera Muhammadiyah bagi orang yang suka dengan beladiri. Di Kabupaten Kebumen semua ortom tersebut ada pengurus dan ada kegiatannya. Masing-masing ortom memiliki sistem pengkaderan formal yang lengkap dengan kurikulumnya. Seperti misalnya IPM dengan Taruna Melati, Melati Tunas bagi Pemuda Muhammadiyah, Jaya melati bagi Kepanduan HW, Darul Arqam untuk IMM, dan sebagainya yang secara teoretis sudah sangat ideal. Tapi anehnya kendala terbesar yang dialami adalah dalam urusan pengkaderannya. Ortom yang diharapkan mampu menjadi kawah ”candradimuka” Muhammadiyah dalam mempelajari visi misi serta gerak dan perjuangan Muhammadiyah ini ternyata tidak banyak peminatnya. Sebagai contoh pengalaman penulis ketika menjadi ketua PC IRM (sekarang berubah Ikatan Pelajar) Gombong periode 2005-2007, ternyata periode tersebut menjadi pimpinan yang terakhir setelah sebelumnya mati dan berhasil kami hidupkan (atas pertolongan Alloh). Pimpinan Cabang mati karena tidak ada lagi yang mau menjadi pengurus. Ketika Muscab, lebih banyak panitia daripada peserta Muscab, sementara pengurus yang lama akan segera meninggalkan Gombong untukmelanjutkan studinya di tingkatan yang lebih tinggi. Berbagai upaya telah ditempuh, baik yang berbentuk formal seperti Taruna Melati maupun berbentuk informal seperti pengajian rutin. Ternyata setelah dipikir hal itu terjadi karena kapasitas SDM-nya kurang mumpuni di bidangnya. Jangankan untuk mengurusi satu wilayah kecamatan, untuk menggerakkan di tingkat sekolah saja dipandang masih terlalu berat. Oleh karena itu perlu adanya kesinambungan antara ortom satu dengan yang lainnya. Sebagaimana ketika IPM pertama kali didirikan, pengkaderannya diserahkan kepada pemuda Muhammadiyah. Karena jika melihat SDM IPM yang notabene para pelajar, belum mampu melakukan sistem kaderisasi formal sebagaimana tercantum dalam kaidah. Jika dibandingkan dengan IPM di lain daerah sebut saja misalnya Banyumas atau Cilacap, di sana yang menjadi pengurus IPM rata-rata anak kuliahan. Sehingga wajar jika di sana lebih progresif dalam pengkaderan dan kegiatannya.
Meski demikian menurut hemat penulis secara umum sistem pengkaderan pada ortom tersebut yang selama ini berjalan baru berupa pembangunan jasad Muhammadiyah, belum pada pembangunan ruh Muhammadiyah. Oleh karena itu sering didapati seorang yang pandai berorganisasi di dalam muhammadiyah, kurang mengetahui akidah yang benar, tata cara ibadah yang sesuai tuntunan sunnah, tidak mengetahui banyak tentang Hadits sehingga ketika mendapati orang yang menjalankan ibadah sesuai dengan hadits yang shahih akan melihatnya sebagai orang asing. Padahal undang-undang tertinggi Muhammadiyah adalah Al Quran disusul kemudian Hadits yang shahih. Berkaca dari hal itu maka sudah selayaknya ada diantara pengurus Muhammadiyah di semua tingkatan ada seorang yang mampu menjadi figur. Yang memiliki kapasitas keilmuan agama, dan juga memiliki kemampuan menjalankan organisasi. Mampu menjadi tauladan bagi orang di sekitarnya, baik dari segi akhlaknya, ibadahnya, akidahnya, keilmuannya, keikhlasannya, progresifitasnya dalam gerakan, dan kecerdasannya dalam berorganisasi.
Walaupun nampaknya untuk sekarang ini sulit menemukan sosok yang dimaksud. tetapi paling tidak seharusnya setiap pimpinan Muhammadiyah bisa berusaha menjadi neo Ahmad Dahlan. Yang senantiasa membimbing para kader muda dalam menanamkan ruh Muhammadiyah secara intensif. Sebagaimana para rosul terdahulu yang senantiasa memiliki sahabat dalam perjuangan mereka, dan pada akhirnya sahabat-sahabat tersebut menjadi kader-kader tangguh dalam barisan dakwahnya. Sebut saja Nabi Isa yang memiliki para Khawariyyun, Ar Rosul SAW yang memiliki para sahabat yang sangat banyak jumlahnya dan tinggi kualitas imannya, baik dari kalangan Muhajirin maupun dari kalangan Ansor, begitupun KHA. Dahlan yang memiliki murid sekaligus teman dalam perjuangan beliau sebagaimana disebutkan di atas. Hematnya, disamping sistem pengkaderan formal juga tidak kalah penting pengkaderan nonformal.
Sekarang ini banyak orang yang lebih sering mengenal Muhammadiyah melalui Amal Usaha yang mendatangkan laba seperti RS PKU Muhammadiyah dan Sekolah Muhammadiyah, sehingga banyak yang mengidentikan Muhammadiyah sebagai perusahaan dibandingkan sebagai organisasi Dakwah. Idealnya Amal Usaha yang demikian merupakan peluang yang sangat besar dalam menjaring para kader Dakwah Muhammadiyah. Dengan catatan ada orang yang ikhlas membimbing para karyawan maupun guru dan dosen di lingkungan Amal Usaha Muhammadiyah. Siang mereka bekerja di AUM, ketika pulang mereka berdakwah di semua lini kehidupan demi tegaknya agama Islam. Sehingga tidak terjadi seorang guru atau karyawan Muhammadiyah bekerja hanya menantikan gaji yang tidak seberapa. Padahal tanpa dinanti, sudah menjadi konsekuensi logis kalau dia bekerja pasti akan mendapatkan upahnya.
Suatu ketika, pada tahun 1922 sekolah Muhammadiyah harus menambah kelas karena siswanya terus bertambah. Dengan demikian, sudah barang tentu belanja sekolahpun bertambah banyak. Sudah selama setahun KHA. Dahlan melihat nasib para guru yang tidak digaji. KHA. Dahlan tidak sampai hati jika harus menangguhkan pembayaran gaji para guru tersebut untuk beberapa bulan lagi. Maka beliau mengundang teman-teman pengurus Muhammadiyah untuk mendaftar barang alat rumah KHA. Dahlan mulai dari yang kecil-kecil seperti meja, kursi, kaca dinding, jam dinding dan lain-lain. Dan juga pakaian beliau seperti sendal, sarung, baju, jas, gamis, dan sorban. Yang disisakan hanyalah satu sorban, dua sarung, satu jas, dan dua baju dalam. KHA. Dahlan bertelanjang diri dan bertelanjang rumah sampai bulat. Barang-barang tersebut beliau lelang untuk mendapatkan uang sebanyak 300 – 400 gulden untuk membayar utang gaji para guru. KHA. Dahlan hanya tersenyum dan ikhlas menjalaninya dan beliau hanya minta 60 gulden untuk membayar utang yang lain. Dan dari hasil penjualan barang-barang tersebut yang awalnya diperkirakan akan laku sebanyak 400-500 gulden, ternyata di luar dugaan. Karena ternyata hasil penjualan tersebut mencapai 4.000 gulden lebih sedikit. Namun demikian beliau tetap hanya mengambil 60 gulden saja. Demikianlah beliau mengorbankan smuanya demi tegaknya Islam yang beliau salurkan melalui organisasi yang tercinta bernama Muhammadiyah. Dengan keyakinan yang dalam akan janji Allah SWT :

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.(QS. Muhammad 47 : 8)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar