Rabu, 07 Oktober 2009

Peneguhan dan Pencerahan IDIOLOGI bagi Kader di AUM

Oleh :Darsum *
Pada Suatu saat nanti banyak orang berbondong-bondong masuk dan bergabung dengan Muhamadiyah, mereka akan berjuang untuk Islam lewat Muhammadiyah, tetapi lebih karena ingin mencari nafkah di Muhammadiyah. Dr Alfin (alm).
Keberadaan karyawan Muhammadiyah bila dirunut ke belakang berangkat dari berbagai kepentingan yang berbeda. Seorang dokter, bidan, atau perwat “bertemu” dengan Muhammadiyah karena profesi mereka. Seorang lulusan FKIP/IKIP menjadi guru di sekolah Muhammadiyah karena kebutuhan kerja. Sementara yang lain bergabung dengan Muhammadiyah karena alasan lain pula. Tidak banyak karyawan Muhammadiyah dilingkungan AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) yang memang sengaja awal ingin mengabdikan dirinya berjuang di jalan Allah lewat persyarikatan Muhammadiyah.
Keberagaman mereka sudah tentu menyangkut banyak hal, termasuk di dalamnya tentang pemahaman keagamaan dan persyarikatan itu sendiri. Ringkas kata karyawan Muhammadiyah itu heterogen.
Kita tidak bisa menyalahkan proses rekrutmen karyawan sebab pendirian sebagian besar AUM berangkat dari beberapa orang yang dilakukan dalam keadaan serba susah. Siapapun yang mau bergabung dengan AUM baru tersebut, akan diterima dengan senang hati mengingat pada dasrnya periode perintisan AUM diwarnai dengan semangat pengabdian tanpa mempertimbangkan gaji atau honor. Sering sekali terlontar ucapan” ada yang sudah untung”. Dan ketika kemudian AUM berkembang pesat, persyaratan utama untuk menjadi karyawan lebih ditekankan pada profesi dari pada aspek Al Islam dan Kemuhammadiyahan. Banyak terjadi kader dari IPM, IMM, Pemuda Muhammadiyah atau NA gagal menjadi karyawan karena IP akademik, tes psikologi atau TOEFL yang tidak memenuhi syarat. Sebaliknya banyak calon yang lulus walaupun tidak mengenal MUhammadiyah sama sekali.
Menyadari realitas di atas, menjadi kewajiban Pimpinan AUM memiliki peta karyawan Muhammadiyah yang meliputi a) Kemampuan baca tulis Al Qur’an, b) Pemahaman Keagamaan dan Kemuhammadiyahan, dan c) Keterlibatan mereka pada Persyarikatan.
Pernah dijumpai seorang karyawati (juru masak) yang telah bekerja 10 tahun di PKU Muhammadiyah ternyata tidak memperoleh kemajuan apapun dalam hal ibadah (shalat) dia tetap belum menjalankan Ibadah (shalat). Ada tenaga medis tidak mau pengajian yang diselenggarakan oleh persyarikatan, karena hnya merasa terikat dengan PKU-nya sebagai tenaga para medis dan tidak merasa ‘terikat’ dengan Muhammadiyah. Ketua PWM Jawa Tengah (waktu Drs. Dahlan Rais) menceritakan di suatu PKU Muhammadiyah ada seorang Dokter tidak “ngeh” dengan istilah “Milad”. Yang ia tahu kata milad identik dengan sumbangan karena setiap Milad Muhammadiyah ia dimintai sumbangan. Kenyataan lain bahwa mayoritas karyawan Muhammadiyah tidak aktif di Persyarikatan adalah pil pahit yang harus kita terima dewasa ini.
Ganbaran keberadaan karyawan Muhammadiyah seperti di muka dapat diumpamakan layang-layang putus yang harus dikejar. Cara yang harus ditempuh untuk mendapatkan kembali, harus dengan memperbanyak pengajian, pelatihan dan kursus-kursus. Jika mau jujur pengajian di AUM sangat rendah kuantitas dan kualitasnya. Pengajian sebulan sekali dengan topoik “ mangga kersa “ harus diakhiri. Pengajian Muhammadiyah kedepan haruslah terencana, terarah, berjenjang dan berkelanjutan serta memiliki tolak ukur keberhasilan. Yang menjadi pertanyaan ialah siapa atau lembaga apa di Muhammadiyah yang pantas diserahi tugas tersebut ? Bentuk kegiatan lain yang perlu disorong ialah menyelenggarakan palatihan sperti Darul arqam dan kegiatan lain yang sejenis. Hanya saja, perlu dikembangkan secara kreatif materi dan metode pelatihan itu sendiri agar tidak merasa monoton. Ambillah contoh, sebuah AUM mengadakan Darul Arqam bagi pimpinan setahun atau dua tahun sekali. Jika materi dan penyampaiannya sama, pasti akan membosankan karena pesertanya juga sama. Disini diperlukan terobosan baru materi refresing untuk menyegarkan kembali semangat bermuhammadiyah.
Tak kalah pentingnya dari semua itu ialah penyelenggara kursus-kursus bagi warga Muhammadiyah. Banyak warga persyarikatan yang ingin belajar/mendalami agama tetapi tidak tersantuni dengan baik. Akhirnya mereka belajar ke tempat lain yang memiliki faham keagamaan yang berbeda dengan Muhammadiyah. Akibatnya bisa ditebak sebagian lari dan tidak akan pernah kembali.
Pepatah jawa mengatakan “Jer Basuki Mawa Bea” artinya semua gagasan dan program tidak akan dapat terlaksana tanpa biaya yang menyertainya. Untuk itu, setiap AUM perlu didorong untuk mengalokasikan biaya pengajian, pelatihan, dan kursus dalam penyusunan Anggaran Pemasukan dan Belanja (APB) AUM. Berapa ? berkisar 2-3 % dari APB barangkali sudah cukup bagus untuk tahap awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar